Dimulai dengan gagalnya rencana berlibur ke Semarang. Sejak Cinta libur sekolah tanggal 23 Desember 2009, kami sudah berencana untuk mengunjungi rumah mak Kiem di Semarang. Saya juga sudah mengajukan cuti dari pekerjaan kantor sampai tanggal 4 January 2010.
Sayangnya kami tidak bisa langsung berangkat karena pekerjaan Bapaknya Cinta belum selesai ditambah mobil kami ada masalah dengan kipas mesin yang tidak berputar dengan benar padahal sudah diganti yang baru. Rencana tertunda tunda, sampai tanggal 25 Desember siang kami putuskan, tanggal 26 subuh kami pasti berangkat ke Semarang. Malam itu Cinta sibuk packing barang barangnya. Baju, mainan, makanan, semua sudah disiapkan.
Bapak, karena tidak tega mengecewakan kegembiraan Cinta untuk ke Semarang menyarankan saya dan Cinta pergi berdua naik pesawat dan Bapak ke Probolinggo. Tapi karena pertimbangan kesehatan Eyang, saya tidak mau. Kuatir terjadi apa apa pada beliau. Akhirnya diputuskan, kami tidak ke Semarang tapi ke Probolinggo. Cinta senang senang saja, karena di Probolinggo bisa bertemu sepupu kesayangannya, Anggi.
Tanggal 26 Desember siang kami berangkat. Dengan kondisi mobil yang masih belum beres juga, sebentar sebentar kami harus berhenti mendinginkan mesin. Sampai di Probolinggo sudah sore. Saya sebenarnya berat sekali mengajak Cinta ke rumah sakit. Karena sebagus apapun, rumah sakit adalah tempat berkumpulnya penyakit dan sangat tidak aman dan nyaman untuk anak anak. Tapi Bapak insisted. Lagipula tidak ada yang menjaga Cinta kalau harus ditinggal di rumah Bunda.
Sampai di RS, kami melihat keadaan Eyang memang sangat memprihatinkan. Beliau diinfus dan di hidungnya dipasang selang untuk memasukkan makanan, karena beliau tidak sadar. Menurut dokter ada penyumbatan di otak dan bagian tubuh sebelah kanan Eyang tidak berfungsi.
Sejak hari itu sampai tanggal 31 Desember kami menghabiskan waktu di rumah sakit. Saya dan Cinta datang siang pulang malam karena paginya masak dulu untuk keluarga yang lain yang juga menunggui di RS. Selama di RS, Cinta membawa trolley bag kecilnya yang berisi buku buku PR dan buku gambar lengkap dengan alat pewarnanya untuk membunuh kebosanan. Juga bonekanya.
Hari hari berlalu, kesehatan Eyang juga semakin membaik. Selang makanan sudah dilepas (sendiri oleh Eyang !!) dan beliau sudah mau makan dengan disuapi. Hasil scan otak Eyang menunjukkan ada penyumbatan di sebelah kiri sehingga bagian tubuh yang kanan tidak berfungsi. Dalam berbicara, kadang jelas kadang tidak. Namun keadaan ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi waktu masuk RS pertama dulu.
Tanggal 30 Desember Bapak masih menawarkan kami pulang ke Semarang karena masih ada waktu.. Namun mobil kami yang selama kami di Problinggo di cat ulang dan di serviskan masih belum selesai. Kalau tanggal 31 baru berangkat, terlalu mepet, karena tanggal 2 January pagi paling tidak kami sudah harus kembali ke Surabaya. Cinta dan saya harus mulai sekolah dan kerja tanggal 4 January. Akhirnya, saya menelpon mak Kiem dan minta maaf karena kami tidak jadi pulang. Mak Kiem sangat kecewa karena beliau sudah mempersiapkan hadiah untuk Cinta dan makanan kesukaan kami. Namun beliau bisa mengerti.
Tanggal 1 January malam, setelah kondisi Eyang benar benar bisa ditinggal, kami bertiga pulang ke Surabaya. Mobil sudah tidak bermasalah lagi. Perjalanan pulang tidak macet tapi ada masalah kecil. Sepanjang jalan Cinta nangis, katanya kangen sama mas Anggi. Nangisnya lama dan susah dihentikan. Kami yakin dia rewel karena kecapekan. Akhirnya setelah diberi pengertian dan janji untuk kembali ke Probolinggo dalam waktu dekat, Cinta tertidur di jok belakang.
Sampai rumah kami merasa benar benar bahagia. Semua yang kami rindukan selama di Probolinggo sudah dapat kami temukan lagi. Bahkan dua malam sebelum kami pulang Cinta mimpi, katanya pulang ke rumah dan tangannya secara tiba tiba jadi panjang sekali sehingga bisa memeluk rumah..hehehe…segitu home sicknya.
Hari Minggunya, kami dapat mbak baru, namanya mbak Siti. Masih 16 tahun, tidak bisa masak dan agak pendiam tapi pengalaman momong anak. Lumayanlah, daripada tidak ada yang menemani Cinta main di rumah.
Beristirahat sehari, Minggu tanggal 3 Bapak ke Probolinggo lagi untuk membantu kepulangan Eyang ke rumah. Cinta masih ceria namun beberapa kali mengeluh sakit perut. Saya pikir mungkin karena cape juga.
Senin dia mulai sekolah tapi waktunya les tidak mau, karena katanya cape. OK, tidak apa apa. Saya suruh mbak Yanti dan mbak Siti antar Cinta pijat di mbah pijat langganan. Pulang pijat, makan nasi dan bakso kesukaannya banyak banyak, trus tidur. Bangun tidur, mandi dan jemput saya di kantor. Tapi badannya hangat dan kepalanya pusing, trus perutnya sakit. Sampai rumah muntah banyak banget dan diare dua kali. Makin malam demamnya makin tinggi, muntahnya juga terus terjadi. Tidak mau makan dan minum, hanya terbaring lemas.
Kuatir terjadi apa apa, kami membawanya ke dokter umum di dekat rumah. Oleh dokter dikatakan radang usus besar (karena yang sakit perut sebelah kiri) dan radang tenggorokan. Obat yang diberikan adalah : Lacto B dan ramuan Braxidin, Sanmol, Avil, Kalmethason, Medcoxil dan Kalticol dicampur jadi syrup.. Rasanya? Jangan tanya….puaitttttttttt sekali. Bahkan saya saja nggak tahan pahitnya. Nggak salah kalau tiap kali minum sesendok obat itu Cinta harus dirayu,dipaksa, diancam dan kalau toh berhasil, begitu minum langsung muntah. Manjurkah obat obat itu? Tidak sama sekali. Karena pada hari ke tiga, Cinta tetap muntah dan diare. Bahkan diarenya lebih hebat. Kami sampai 3 kali bawa ke dokter yang sama. Terakhir diberi suntikan Primperan dan Buscopan. Dokter menyarankan kami memeriksakan kotoran dan pipis Cinta. Kami turutin. Ada 2 jenis pemeriksaan lab, yang perama untuk mengetahui jenis bakterinya, hasilnya bisa didapat dalam beberapa jam. Dan yang kedua untuk memeriksa contour sehingga bisa diberikan pengobatan yang tepat, hasilnya baru didapat lima hari kemudian. What ???? Berarti dalam 5 hari anak saya masih akan diare dan muntah karena pengobatannya belum tentu benar ?? No wayyyy….. Test bakteri kami lakukan tapi tes contour tidak. Badan Cinta yang tadinya sudah mulai montok langsung turun dengan drastic. Perut yang biasanya endut lucu jadi kempes pes…Seharian tidak mau makan, hanya minta minum air putih terus kalau kebanyakan muntah lagi. Dehidrasi tingkat medium, kata Dokter. Kalau sedang sedikit segar badannya, dia minta teh manis hangat, hanya beberapa sendok, lalu air putih lagi. Terbaring lemas, diam dan tidak bergairah.
Kami sudah mengambil keputusan, kalau sampai hari Kamis masih seperti ini, mau tidak mau kami harus bawa ke Rumah Sakit. Tidak berhenti kami berdoa. Saya juga selalu mengajak Cinta berdoa. Dan rupanya Tuhan mendengar doa kami. Cinta mulai mau makan mie, sedikit, makan roti Boy sedikit. Kami terus memotivasi Cinta untuk mau makan, walaupun muntah jangan kapok makan supaya perutnya tidak benar benar kosong.
Hari Kamis, Bapak harus ke Probolinggo lagi menengok Eyang karena Eyang kritis lagi dan harus masuk RS lagi.. Sorenya, karena Cinta masih lemas dan muntah, saya membawa Cinta ke dokter Muji langganan kami sejak Cinta bayi. Saya tunjukkan semua obat yang sudah diberikan. Oleh Dokter Muji semua obat itu diganti, hanya Lacto B saja yang disuruh meneruskan. Obat barunya Sanprima dan Damaben. Sanprima sedikit pahit, sedang Damaben seperti air gula. Cinta lebih mudah disuruh minum obatnya dokter Muji. Puji Tuhan berangsur angsur keadaannya membaik. Muntah berhenti, diare stop. Makan sudah mulai mau, tapi harus sedikit sedikit. Hari Sabtu sudah mulai mencari camilan. Makan nasi (selama sakit Cinta tidak mau makan bubur, padahal oleh dokter dianjurkan demikian) juga sudah mau. Hari Minggu sudah sehat lagi, sudah mulai ceria.
Hari Selasa mulai masuk sekolah…dan sampai hari ini sudah kembali seperti semula. Ahhh…leganya. Setelah sembuh, napsu makannya bukan main. Saya memberikan apa saja yang dia mau, tapi selalu saya ingatkan kalau sudah kenyang berhenti dulu, nanti satu atau dua jam lagi boleh makan lagi.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete